Kamis, 25 September 2008

Artikel: Sujud Kepada Sang Pencipta

SUJUD KEPADA SANG PENCIPTA
ditulis oleh:
Sayyid Faridhal Attros Al Kindhy Asy'ari
Guru Besar Perguruan MK Al Mukarramah


“Katakanlah; Sesungguhnya Shalatku, Ibadatku, Hidupku dan Matiku hanyalah untuk Allah Tuhan semesta alam”.(QS.6:162)



Seorang muslim melihat setiap aspek alam bukan sebagai fenomena yang terpisah dari dunia kasat indera, melainkan sebagai tanda-tanda Tuhan. Maka dengan cara inilah Tuhan melalui utusan-Nya yang terakhir, membangun kembali alam (bumi) sebagai tempat yang merupakan inti ajaran Islam, tempat sang manusia sempurna lagi mulia menyentuhkan dahinya ke bumi (tanah) sebagai perintah langsung dari Sang Pencipta. Menurut Islam, alam semesta yang penuh dengan tanda dan isyarat (ayat) Tuhan, seperti dikatakan dalam Al-Qur'an :"Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (ayat) Kami disegenap penjuru dan di dalam diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka akan kebenaran" (QS. : 41 : 53)



Shalatku dan Ibadahku

Bersujud menyentuh bumi (Shalat) ini di antara berbagai fungsinya, adalah untuk mengembalikan manusia dan alam kesucian primordial (al-fitrah). Saat Yang Maha Esa menghadirkan dirinya secara langsung di dalam hati manusia dan mengumandangkan sebuah simfoni abadi dalam keselarasan yang ada pada alam yang suci, sesuai firman Tuhan dalam Al-Qur'an: "Maka bersujud-lah kepada Allah, dan sembahlah Dia“. (QS.53:62).


Allah SWT telah menunjukkan alam yang suci, karya agung dari tindak kreatif-Nya yang tiada habis-habisnya, sebagai tempat ibadah shalat bagi kaum muslim dan utusan terakhir-Nya yang terkemuka dengan menjadikan Islam, agama primordial, untuk kembali ke alam primordial sebagai rumah suci.

Dengan melakukan shalat seorang muslim telah kembali ke pusat alam, bukan secara eksternal melainkan melalui hubungan bathin yang menghubungkan prinsip-prinsip dan irama-irama alam. Nabi Muhammad SAW, pertama kali menunaikan shalat di hadapan Singgasana Tuhan ('Al-Arsy) sebelum beliau mengerjakan shalat di atas tanah dan dengan penyucian kembali tanah sebagai refleksi Arsy, mengembalikan Bumi ke kondisi primordial-Nya sebagai cermin dan pantulan surga. Penyucian kembali tanah dengan tindakan sujud Nabi Muhammad SAW. itulah yang memberikan makna baru bagi tanah dan permadani yang menutupi-nya.


S
eorang muslim melewatkan sebagian besar waktunya diatas permadani itu, untuk memahami kesucian tempat dia duduk serta menyatu di dalamnya ketika mengerjakan ibadah shalat. Dengan mewahyukan kewajiban shalat setiap hari kepada utusan-Nya, Tuhan menjadikan alam tidak hanya sebagai tempat ibadah, sebagaimana arti sebenarnya bagi manusia primordial tanpa adanya bahaya kemusyrikan, melainkan juga mengijinkan penyucian bumi itu sendiri melalui sujud sang manusia sempurna. Dengan menyentuhkan dahinya ke tanah, Rasulullah SAW. memberikan makna khusus mengenai penyentuhan dahi atas Bumi (tanah) dalam upaya mengingatkan manusia pada proses awal penciptaan-nya dan darimana asal muasal hal ihwalnya. Seperti tersebut didalam Al-Qur'an :"Dari bumi (tanah) itulah Kami menjadikan kamu, dan kepada-Nya kami akan mengembalikan kamu, dan daripadanya Kami akan mengeluarkan kamu, pada kali yang lain". (QS.20 : 55).


Al-Qur'an mengembalikan kesadaran manusia, bahwa alam semesta adalah kalam Illahi dan pelengkap ayat-ayat suci tertulis yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW. Kesadaran ini diperkuat dengan tata cara shalat yang secara naluriah mengembalikan pada keadaan primordialnya, dengan menjadikan seluruh alam sebagai tempat ibadah. Terlebih lagi Rasulullah SAW menegaskan bahwa Bumi (tanah) itu tak ubahnya merupakan pencerminan arsy.


Beliau melakukan shalat di gurun pasir dan pegunungan, di alam yang tetap suci dan bersih. Akar dari kaidah Islam ditemukan pada penyucian kembali alam dalam hubungannya dengan manusia, sebagai wujud primordial yang tetap menyadari hubungan bathinnya dengan yang Maha Esa maupun dengan ciptaan-Nya. Sedangkan hubungan kosmos Islam dengan kaidah-kaidah dan prinsip-prinsip kosmologisnya digambarkan dengan sangat mengagumkan didalam Al-Qur'an, yang kemudian digali secara terinci selama beberapa generasi di sepanjang sejarah Islam.


Shalat Menghadap Allah

Sujud, yakni suatu posisi ketiga dalam shalat (namaz) ketika dahi orang yang mengerjakan shalat menyentuh tanah dalam kepatuhan, kerendahan dan penyerahan diri sepenuhnya kepada Tuhan. Pada permulaan shalat, seorang muslim berdiri tegak lurus sebagai Manusia primordial, "Ia menjadi imam bagi dirinya sendiri, menghadap Tuhan tanpa perantara". Ibadah ini dilakukan oleh manusia, bukan sebagai makhluk yang berputus asa, melainkan sebagai wakil Tuhan dimuka bumi, Sebuah kesadaran akan substansi teomorfis, yang berdiri pada poros vertikal eksistensi alam semesta.


Hal ini merupakan kebenaran yang berlaku bagi kaum wanita sebagaimana kaum pria, karena baik kaum pria maupun kaum wanita akan berdiri secara langsung menghadap Tuhan dalam menunaikan ibadah shalatnya. Karena di dalam shalat, hamba Allah SWT harus berusaha mencapai persatuan dengan Tuhannya, hilangkan lintasan-lintasan (Ghurur atau Kicuhan) lainnya, selain Dzat Yang Maha Suci dari dalam hatinya, Allah SWT tidak ingin di dua-kan, karena jika hamba Allah SWT ingin menghadap kepada-Nya secara langsung dalam shalatnya, maka hadapkanlah lahir dan bathinnya, jangan lahirnya seperti menghadap Allah SWT, akan tetapi bathinnya menghadap hal-hal lain diluar Allah SWT.

Bagaimana seseorang itu akan dapat merasakan nikmatnya ibadah, jika ia selalu lalai dalam shalatnya. Lalai dalam arti kata, hati dan pikirannya yang tidak pernah terfokus pada Dzat Yang Maha Pencipta. Awal shalat selalu dimulai dengan niat suci karena Allah SWT semata, tapi pada prakteknya niat suci awal tersebut berubah menjadi lintasan-lintasan lain dalam hati dan pikirannya. Misalkan saja ketika kita mengerjakan shalat, terlintas akan permasalahan dan urusan-urusan rumah tangga, kantor, usaha, dan lintasan-lintasan lain dari bagian dunia ini.

Yang demikian itu tidaklah dibenarkan dalam tuntunan adab shalat yang baik, karena jika hal tersebut terjadi itu berarti Ia hanya menyiapkan amal lahir dan tidak memelihara hati (bathin), padahal hati itu adalah pokok yang utama, dan seseorang itu tidak akan selamat kecuali menghadap Allah SWT dengan hati yang lurus tanpa ada kebengkokan didalamnya. seperti tersebut dalam Al-Qur'an : "Maka kecelakaan-lah bagi orang-orang yang shalat (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya"(QS. 107 : 4-5).

Mengenai masalah hati ini, Sayyidina Ali Ra, mengatakan: “Sesungguhnya Allah Ta’ala di Bumi ini mempunyai wadah, yaitu; Hati. Maka yang paling dicintai Allah adalah wadah yang paling kuat, wadah yang paling bersih, dan wadah yang paling lunak, maksudnya ialah: kuat agamanya, bersih didalam keyakinannya dan lunak terhadap sesamanya (saling menyayangi)

Jika kita menyimak firman Tuhan dan ucapan Sayyidina Ali tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pada dasarnya manusia itu selalu cenderung merasa puas dengan apa-apa yang telah di kerjakan-nya, serta sudah merasa cukup dan sempurna dalam menjalankan apa-apa yang Allah SWT perintahkan kepadanya dengan tanpa berusaha ingin mengetahui dimana letak-letak kekurangannya, dan rasa inilah yang merupakan awal bagi manusia untuk tidak tergerak hatinya dalam mencari kesempurnaan ibadah kepada Allah SWT, karena ia sudah merasa sempurna dengan tata cara ibadah yang selama ini dilakukannya.


J
ika mengenai urusan dunia rasa cukup itu cocok sekali, hal ini menandakan bahwa ia tidak rakus dan serakah dengan apa-apa yang di dapatkan-nya dari dunia ini untuk mencukupi kebutuhan hidup diri dan keluarganya. Akan tetapi jika untuk kebutuhan akhirat rasa cukup itu harus di buang jauh-jauh, karena akan menghambat tambahan amal-amal lainnya, dan seseorang yang tidak pernah merasa cukup dengan amal akhiratnya tidak dapat dikatakan rakus, karena ia merupakan orang yang pandai mengatur hidupnya dan berpikiran luas serta memiliki rasa kerinduan yang teramat besar untuk bertemu Tuhannya di akhirat kelak. Orang semacam inilah yang tidak akan pernah lalai dalam shalat dan ibadah-ibadah lainnya.

Hidup dan Matiku

Keutuhan Islam tidak hanya berkaitan dengan kesatuan kosmos dan apa yang ada dibalik alam kesatuan prinsip ketuhanan itu sendiri, melainkan juga dengan kesatuan hidup individual dan masyarakat yang diatur oleh hukum Illahi (Al-Syari’ah). Dengan mengintegrasikan Agama pada seluruh segi kehidupan serta memasukkan kehidupan itu sendiri kedalam irama-irama ibadah, dan tatanan nilai yang ditentukan oleh Agama.

Ketika membahas hidup dan mati, ada suatu hal yang perlu disebutkan karena begitu pentingnya dan umumnya dilupakan oleh sebagian besar manusia; Hidup adalah suatu anugerah tuhan dan sekaligus simbol dari pusat yang menghubungkan seluruh tingkat eksistensi kosmik Yang Maha Pencipta.

Hidup dan kehidupan ini, terwujud bukan semata oleh suatu akibat dari pertumbuhan berbagai unsur, melainkan merupakan tindak kreatif Tuhan yang tak dapat dipisahkan dari spirit dan bentuk ajaran Islam, yang tak mungkin ada tanpa pengaruh langsung dari keduanya. Yang suci menandai suatu pemunculan dunia yang lebih tinggi dalam hal eksistensi psikis dan material, keabadian dunia temporal.

Semua yang datang langsung dari dunia spiritual yang berada diatas dunia psikis, harus tidak disalah artikan antara keduanya; yang satu adalah Ruh (spirit), dan yang lainnya adalah Nafs (jiwa) menurut Istilah Islam adalah suci, karena berperan sebagai sarana untuk kembalinya manusia menuju spiritual dan menuju sang Pemberi Hidup bagi seluruh kehidupan aktivitas manusia. Oleh karena itu, Nafs (jiwa) menandakan adanya “keajaiban” melalui nilai spiritual dalam dunia material, yakni; dari surga ke Bumi. Ia (Nafs) merupakan sebuah gema dari Surga untuk mengingatkan manusia di bumi ini akan tempat asalnya, Surga.


Kehidupan dunia adalah bersifat fana (sementara), kehidupan alam barzakh-pun fana, karena kehidupan yang fana itu adalah menunggu hari sidang pengadilan Tuhan. Akan tetapi kehidupan akhirat adalah mutlak. Itulah tujuan akhir dari seluruh hidup dan kehidupan ummat manusia. Kita yakin dan percaya bahwa Tuhan Yang Maha Esa-lah yang menjadikan. Bukan Dia yang dijadikan. Dengan kata lain Dia turut serta memainkan peranan didalam setiap kehidupan manusia. Karena dengan rahmat dan karunia serta dengan seizin-Nya, kita hidup atau mati. Seperti tersebut didalam firman-Nya : “Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati diwaktu tidurnya; maka Dia tahanlah jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya, dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai batas waktu yang ditentukan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berpikir.” (QS.39:42)

Islam mampu membentuk sebuah lingkungan Islami dalam bentuk maupun isi, dengan prinsip-prinsip dan spiritual yang tertanam pada materi, yang mengelilingi manusia dalam kehidupan sehari-harinya dan mempunyai pengaruh yang sangat mendalam pada sikap, pikiran, dan jiwanya. Bagi orang yang beriman lagi mentaati Allah SWT dan Rasul-Nya, maka secara lansung ia akan berhubungan dengan prinsip-prinsip spiritual dan inisiatik serta perbuatan-perbuatan yang dilakukannya akan mempunyai sesuatu subyek yang suci.

Sedangkan bagi orang yang berbuat maksiat dan sering melanggar aturan Tuhan, sedangkan ia belum pernah bertaubat, maka ia akan mengalami penyesalan yang teramat besar, disaat melewati gapura gerbang kematiannya menuju Alam Barzakh (alam kubur).

Dalam salah satu hadits Nabi Muhammad SAW, disebutkan;

Aisyah berkata kepada Nabi SAW ; “Di azab kah manusia di alam kubur…?”

Rasulullah SAW bersabda ; “Berlindung-lah dengan Allah dari azab kubur” (H.R. Bukhari).

Dan didalam salah satu hadits Nabi SAW lainnya disebutkan; bahwa Nabi bersabda ; “Aku heran kepada orang yang mencari dunia, padahal maut mencarinya”. Aku heran kepada orang yang lalai, padahal Dia (Allah) tidak lalai darinya. Aku heran kepada orang yang tertawa dengan sepenuh mulutnya, padahal dia tidak tahu apakah dia mendapat ridha atau murka Allah .. (H.R. Ibnu Ad)

Selengkapnya...