Rabu, 20 Februari 2008

All About Syaikh Abdul Qadir Al Jailani

Siapa sih beliau?
apa sih peringkat beliau, kok orang ramai membicarakannya?
bagaimana sih perjalanan beliau hingga bisa mencapai peringkat wali abdal?
dimana saja beliau melakukan tirakat?
siapa sih guru beliau itu?
dan murid beliau siapa?
ada kaitannya dengan Hassan Hussin gak sih dalam cerita itu?
apakah ada keturunan beliau yang masih hidup?
amalan atau wiridan apa saja yang beliau wariskan?
bagaimana sih kepribadian dan apa sih warna favorit pakaiannya?
apa bener foto yang dijual di umum itu foto beliau?
apa bener beliau pernah diskusi atau tanya jawab dengan golongan jin?
apa sih maknanya setan? Iblis? bagaimana sejarahnya disebut iblis dan setan?
ada berapa golongan jin itu? siapa saja mereka?

dan masih banyak lagi pertanyaan, itu semua hanya terdapat dibuku AWRAD FADHL syaikh Abdul Qadir Al Jailani setebal 1500 halaman.

buku tersebut ditulis oleh: SAYYID FARIDHAL ATTROS AL KINDHY ASY'ARI,
Guru Besar MK Al Mukarramah


berikut dibawah ini cover dari buku tersebut:

Selengkapnya...

LISAN SEORANG ULAMA SEJATI

LISAN SEORANG ULAMA SEJATI

Lisan seorang Ulama Sejati

seperti arus sungai yang bermuara

dari sumber air pegunungan

rahasia Al Qur’an

(Sayyid Faridhal Attros Al Kindhy Asy’ari)

Seorang ulama sejati mampu melintasi horizon esoterisme Islam yang sangat luas dan mampu meniupkan “Ruh” baru ke dalam eksistensi material. Karena perbuatan dan tindak kreatif seorang ulama seperti itu, merupakan sesuatu yang hanya dapat dihasilkan oleh perasaan terdalam yang memungkinkan Sang Ulama masuk ke alam ruh, dan akan lebih sempurna jika seorang ulama mempunyai tingkatan kesucian yang lebih tinggi pula, yang diawali dengan kerinduan kepada Tuhan dan bergerak secara perlahan menuju penyingkapan keagungan surga, serta akhirnya mencapai peleburan (fana) dan tenggelam didalam YANG MAHA BENAR (baqa), karena hanya orang yang mencintai Tuhan yang akan dapat mengosongkan hatinya dari segala sesuatu selain Allah.

Lisan (ucapan) seorang ulama sejati melukiskan kedalaman aspek-aspek spiritual Islam. Karena kata-katanya berasal dari suatu dunia yang kekal lagi abadi, suatu dunia yang mengiringi manusia dalam perjalanannya dari keabadian melalui ekspresi universal kehidupan, dan jalan inisiatiknya dimungkinkan oleh tingginya tingkatan spiritual (maqam) sang ulama itu sendiri, yang digabungkan dengan pengetahuannya yang mendalam tentang semua tradisi Islam, sehingga dirinya bisa membedakan mana yang berupa ajaran (agama) dan mana yang berupa budaya, agar ia lebih arif dan lebih selektif dalam memutuskan segala suatu permasalahan serta konflik horizontal yang terjadi diantara sesama ummat Islam.

Mereka (para ulama) mengambil kehidupan para nabi dan wali serta episode-episode dari sejarah suci, bukan untuk menggambarkan masa lalu, melainkan untuk menerangkan suatu perjuangan spiritual yang terus berlangsung di dalam jiwa setiap orang dimanapun dan hingga kapanpun, karena mereka memiliki kepekaan yang sangat istimewa terhadap pesona spiritual yang bagi mereka merupakan keagungan Yang Maha Benar, yang selalu menjadi pintu gerbang untuk masuk ke dalam lautan rahasia Tuhan.

Melalui lisan dan ajarannya-lah seorang ulama sejati berjalan dari lingkaran luar menuju pusat yang mempersatukan pusat manusia dan pusat alam semesta yang mewujudkan jiwa didalam tubuh. Untuk mengetahui alam sifat manusia maupun wahyu, seseorang harus menembus ke dalam makna segala sesuatu, dengan esensi yang merupakan maknanya. Bagi seorang ulama sebagaimana seluruh ahli tafakur dan makrifat dengan formulasi doktrinnya, bahwa tidak ada apapun melainkan hanya Tuhan (al dzat).

Dan segala sesuatu selain-Nya

adalah simbol yang terbentang

dalam rangkaian ciptaan

(Sayyid Faridhal Attros Al Kindhy Asy’ari)

Bagi para ulama, segala sesuatu merupakan simbol dunia spiritual dan dunia perwujudan yang memiliki bentuk dan makna sebagai cara lain untuk menggambarkan dua aspek karakteristik, yaitu Yang lahir (dzahir) dan Yang Batin (bathin), sebagaimana pandangan semua ahli makrifat, yang dengan jelas menyingkapkan makna yang ada didalamnya.

Seorang Ulama Sejati,

adalah satu dari sedikit orang

yang mempunyai semacam kepekaan sensual

terhadap keindahan spiritual,

ia melihat segala sesuatu tampak

sebagai bentuk transfaran

yang mencerminkan esensi abadi.

(Sayyid Faridhal Attros Al Kindhy Asy’ari)

Bagi seorang ulama sejati, eksistensi keindahan benar-benar merupakan bukti langsung akan adanya Tuhan. Oleh karena itu, yang melengkapi kepekaan seorang ulama terhadap keindahan adalah kesadarannya akan kesucian dalam segala sesuatu dan kecakapan lisannya dalam memberi petunjuk sebagai solusi spiritual terhadap hampir setiap permasalahan yang dihadapi manusia dalam berbagai masa dan keadaan.

Seorang ulama sejati ditemukan banyak orang sebagai seorang penangkal penyakit yang berasal dari penderitaan dunia modern, dan bukan sebagai pembuat penyakit itu sendiri. Dia memang seorang penangkal yang sangat mujarab, yang menyediakan ajaran-ajarannya untuk diikuti, betapapun pahitnya obat yang ia tawarkan.

Kekuatan kreatif seorang Ulama Sejati,

jauh dari adanya pencekikan,

ia terbebas

dari belenggu dan keterbatasan

subyektif dirinya sendiri,

ia memperoleh suatu universalitas

dan kekuatan yang luar biasa

(Sayyid Faridhal Attros Al Kindhy Asy’ari)

Ajaran-ajaran suci para ulama sejati berhubungan secara langsung dengan reaksi hati dan jiwa masyarakat muslim yang dipersiapkan untuk membentuk “Ummah Islam” untuk menyambut kesucian dan kemurnian firman Tuhan yang diungkapkan dalam Al Qur’an, oleh karena itu, kaum muslimin harus percaya kepada yang suci dan terlibat didalamnya. Kalau tidak, maka yang suci akan menyembunyikan dirinya dibelakang selubung yang tidak dapat dilalui.

Begitu pula halnya dengan para ulama sejati, ucapan dan ajaran mereka selalu mengundang reaksi dalam jiwa masyarakat Islam, karena hujjahnya selalu merefleksikan gema kitab suci dalam pikiran setiap orang yang mendengarkan dengan sepenuh penghayatan. Dan pada gilirannya gema tersebut terkenang-kenang dalam pikiran dan jiwa orang-orang yang telah menyatu dengan rasa kesucian Islam, rasa kejujuran dan kerendahan hati seorang ulama sejati.

Mereka (para ulama) memiliki suatu ketajaman penglihatan dan pendengaran intuisi yang memungkinkan pendakian (mi’raj) melalui kebenaran fenomenal yang naik ke esensi-esensi dan melodi-melodi keabadian melalui prinsip-prinsip tradisional ajarannya yang meresapkan nilai kesucian agar setiap diri dapat terbebas dari dogma dan prisma hawa nafsu yang bergejolak.

Malapetaka dalam agama apapun

yang diakibatkan oleh penghancuran ajaran

para tokoh-tokoh agamanya,

tidaklah lebih baik dari pada yang diakibatkan

oleh melemahnya ajaran-ajaran

moral dan spiritual

serta pengingkaran terhadap perintah

yang terkandung dalam hukum Tuhannya

(Sayyid Faridhal Attros Al Kindhy Asy’ari)

Dengan mengintegrasikan agama pada seluruh segi kehidupan serta memasukkan kehidupan itu sendiri ke dalam irama-irama ibadah dan tatanan nilai yang ditentukan oleh agama maka hanya Islam-lah yang telah berhasil menciptakan suatu keutuhan yang harmoni, yang direfleksikan dalam ajaran kesucian dan kebudayaannya. “Barang siapa menunjuk / mengajar kebajikan maka baginya pahala seperti orang-orang yang mengerjakannya” (Al-Hadits)

Melalui penyerahan diri, pemusatan dan peleburan batin, seorang ulama sejati akan sanggup mengungkapkan hubungan-hubungan kosmik tertentu dalam menguak realitas-realitas alam metakosmik dan realitas segala sesuatu yang meninggalkan jejak pada semua makhluk dengan pancaran sumber samawi eksistensinya.

Ia dapat memasuki hubungan dengan makhluk-makhluk dan mukjizat-mukjizat yang berasal dari eksistensi universal untuk menuntun manusia kembali kekediaman Yang Esa, sebagai pengejawantahan yang dapat dilihat dari firman ilahi, untuk membantu orang Islam menembus ke dalam dan ditembusi kehadiran ilahi yang sesuai dengan kapasitas spiritual setiap orang.

Dari dalam jiwa seorang ulama sejati, dapat ditemukan ketenangan hati, sifat pemaaf, kekayaan batin, kesabaran yang tinggi, jauh dari rasa iri dan dengki terhadap kemajuan serta kemakmuran orang lain. Dengan kata lain, bahwa jiwa seorang ulama akan sangat menentukan pula perjalanan panjang para kaum muslimin.

Para ulama sejati adalah pewaris Nabi SAW, sedangkan jiwa Nabi Muhammad SAW itu sendiri adalah sebuah sumber ghaib bagi seluruh spiritualitas Islam. Banyak dari mereka (para ulama sejati) yang juga secara intim berteman dengan para ahli politik, semoga saja bukan dalam ketundukannya kepada kekuasaan duniawi serta kemegahannya atau dalam menyusun tulisan-tulisan dan pidato-pidato yang berisi sanjungan kepada yang berkuasa, akan tetapi hubungan intim dalam pertemanan mereka dengan para penguasa akan selalu memberikan petunjuk dan teladan spiritual kepada para pemegang kekuasaan.

Hubungan itu sendiri akan cukup untuk mereduksi kelemahan dan hujatan serta argumen-argumen yang menganggap seorang ulama sejati telah menjual agamanya demi keuntungan duniawi. Memang dalam hal ini tidak dapat dipungkiri, bahwa banyak sekali oknum dari para kaum muslim yang mengklaim dirinya sebagai seorang ulama, akan tetapi tidak memiliki pengetahuan banyak yang disesuaikan dengan predikatnya sebagai ulama, yakni orang yang berilmu (berpengetahuan). Seperti tersebut didalam Al Qur’an :

Artinya;

“...........Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. 58 : 11)

Nabi SAW bersabda; ”Menuntut ilmu itu merupakan kewajiban yang dipikulkan kepada pundak setiap individu ummat Islam baik perempuan maupun laki-laki ” (HR Muslim)

Seorang ulama sejati yang membawa ajarannya dalam dunia Islam akan tampak mewujud dalam taraf fisik yang secara langsung dapat dipahami oleh pikiran yang sehat, dan seandainya-pun hal itu terjadi seperti tersebut diatas, maka janganlah menyalahkan predikat ulamanya, akan tetapi itu hanyalah individunya saja yang mendompleng dibalik selubung predikat ulama. Realitas-realitas dasar ajaran dan perbuatan-perbuatannya, adalah merupakan sebagai tangga bagi pendakian jiwanya dari tingkat yang dapat dilihat dan didengar menuju ke YANG MAHA GAIB.

Berbagai aspek esensial dari agama dan kehidupan spiritual seorang ulama sejati dimungkinkan oleh tingginya tingkatan spiritual (maqam) ulama itu sendiri yang digabungkan dengan pengetahuan tentang tradisi Islam sebagai ekspresi universal kehidupan, yaitu antara penyajian kebenaran obyektif dengan presentasi subyektif serta aspek-aspek operatif yang menyangkut proses pencapaian kebenaran antara doktrin dan pandangan inisiatiknya, yang secara langsung meliputi seluruh eksistensi manusia dan berbagai persoalan serta rintangan-rintangan dalam pencariannya terhadap YANG MAHA BENAR.

Penampakkan adalah perwujudan sesuatu dengan esensi yang merupakan maknanya. Dan tiada yang pernah dapat mengetahui secara pasti apakah seseorang hanya berada pada tingkat bentuk (shurah) dan melupakan maknanya (ma’na).

Makna dari suatu bentuk menyiratkan

Sebuah pencarian yang bermula dari sesuatu

yang membingungkan jiwa menuju pusat

yang berkilauan

(Sayyid Faridhal Attros Al Kindhy Asy’ari)

Maka yang membuat perbedaan antara bentuk dengan makna, seorang ulama sejati telah menawarkan sebuah interpretasi “hermeneutik” mengenai seluruh realitas, baik Al Qur’an kosmik (Al qur’an al takwini), maupun Al Qur’an tertulis (Al Qur’an al Tadwini), yang menyingkapkan kesatuan transenden antara makhluk dan agama melalui kerinduan kepada Tuhan dan bergerak secara perlahan menuju penyingkapan keagungan surga.

Oleh karena itu, seorang ulama sejati adalah orang yang memiliki kemampuan dalam menguraikan secara terinci tentang kebenaran dengan mengembalikan hampir segala sesuatu dari tindakan seluruh manusia atau makhluk kepada pesan-pesan yang sangat luhur dari Al Qur’an.

Kemampuan lisan ulama sejati,

menyiratkan keselarasan dan kedamaian

yang sejuk menyejukan bagi siapapun

yang mendengarkannya,

karena suara dari lisannya

akan mengalir seperti arus sungai yang bermuara

dari sumber air pegunugan rahasia Al Qur’an

(Sayyid Faridhal Attros Al Kindhy Asy’ari)

Dengan bantuan doktrin dan metode spiritual, manusia mampu memahami siapa dirinya, dengan meninggalkan apa saja yang menyesatkan untuk mengetahui hakikat dirinya.

Ajaran dan nasihat-nasihat yang keluar dari lisan seorang ulama sejati akan mampu membawa manusia meraih ketenteraman dan kedamaian yang tersembunyi dipusat wujudnya dan pencapaiannya dapat dilakukan setiap orang pada setiap kesempatan. Disinilah sejatinya seorang ulama dalam mengemban amanah dan ajaran Rasuulullah SAW untuk menyebarluaskan ilmunya (pengetahuannya) kepada seluruh kaum muslim, dengan tanpa adanya diskriminasi (perbedaan) antara satu ulama dengan ulama lainnya, agar seluruh ummat Islam memiliki acuan yang layak untuk mereka jalani dan fahami, karena sudah banyak contoh, seperti halnya dengan awal puasa di bulan suci ramadhan, perayaan idul fithri dan lain sebagainya. Seharusnya ketidakseragaman ini tidak perlu terjadi.

Seorang ulama sejati

akan dapat membebaskan manusia

dari prahara yang menghancurkan

dalam kehidupan ini

dan dari keriuhan dunia eksternal,

tanpa perlu meninggalkan dunia itu sendiri

(Sayyid Faridhal Attros Al Kindhy Asy’ari)

BEBERAPA TINGKATAN ULAMA SEJATI

Dalam dunia transenden, jiwa manusia bekerja sama dengan tubuh duniawi melalui suatu mukjizat, yang rahasianya hanya dapat diketahui oleh Tuhan sehingga mewujudkan kehidupannya didunia yang lebih rendah. Meski demikian, jiwa akan selalu mengenang asal kediaman tanah air sejatinya, sungguhpun terbatas pada dunia material.

Dalam dunia transenden jiwa manusia melakukan pendakian melewati rintangan kezuhudan dan disiplin spiritual, yang tingkatan pertamanya “sayr wa suluk” (perjalanan spiritual) dari seorang ulama. Walaupun ada berbagai cara penggambaran dan penjelasan tentang jalan menuju persatuan dengan Tuhan YANG MAHA ESA, yang semuanya dapat diringkas dalam tiga tingkatan ulama yang utama.

Tingkat pertama adalah “Qabdh Latha’if” (penyusutan dalam esensi lembut-halus). Dalam tingkatan ini, aspek tertentu dari jiwa seorang ulama akan berhubungan dengan kezuhudan dan kesalehan serta manifestasi teofani dari nama-nama Tuhan Yang Maha Lembut dan Maha Halus. Pada tingkatan inilah di dalam diri seorang ulama akan ditemukan sifat yang lemah lembut berlandaskan kasih sayang dan kebajikan yang luhur, sehingga dirinya tidak pernah melakukan fitnah keji kepada kaum muslim lainnya.

Tingkatan “Qabdh Latha’if” (penyusutan dalam esensi lembut-halus) merupakan perjuangan spiritual (mujahadah) yang mendefinisikan berbagai kelembutan dan kehalusan dalam diri ulama, dalam diri kaum arif dan pecinta Allah. Bagi seorang ulama dalam tingkatan ini, ia melihat segala sesuatu sebagaimana adanya, sehingga mukjizat yang berada dalam tubuh akan terungkap meski hanya sekejap dan memungkinkan burung jiwa dapat membentangkan sayapnya dan terbang ke dunia spiritual yang sangat luas tiada batasannya dan menikmati alunan simfoni keabadian serta ekstase yang merupakan aspek esensi dari dunia ini.

Seorang ulama sejati yang sudah

mencapai tingkatan Qabdh Latha’if ini,

tentunya tidak memerlukan tunggangan atau sarana apapun, karena dia sendiri memiliki daya untuk terbang menuju dunia transenden melalui rahasia perjanjian primordial

antara manusia dan Tuhan

(Sayyid Faridhal Attros Al Kindhy Asy’ari)

Tingkatan kedua adalah “Basth Kasyf Imani” (perluasan penyingkapan melalui keimanan). Dalam tingkatan ini, aspek dari jiwa ulama mendapat keluasan dan diperluas. Sehingga eksistensinya melampaui batasan dirinya sendiri hingga dia memeluk seluruh alam semesta melalui ketulusan iman.

Kadar intesitas tingkatan Basth Kasyf Imani ini dapat berfungsi sebagai katalisator yang mengaktifkan sang ulama untuk lebih banyak lagi mencari ilmu (pengetahuan) yang berkaitan dengan segala maujud dalam kosmos sewaktu ia berada dalam ekstase (wajd) dibawah pengaruh kuat suatu keadaan spiritual (hal), sehingga tubuh jasmaninya akan tampak meluruh seperti debu primordial (al habah). Dan menyatu dengan lingkungan alam sekelilingnya.

Maka inilah kebenaran

bagi hati manusia yang sederhana,

yang bebas dari rasa keakuan, keserakahan

dan dari berbagai cinta serta gairah

yang dapat mempengaruhinya

(Sayyid Faridhal Attros Al Kindhy Asy’ari)

Namun apabila ia tidak terbebas dari hal-hal itu, dan ia terisi sesuatu selain Allah dihatinya, maka sesuatu itu akan bergerak dan berpengaruh sebagaimana api yang kian berkobar.

Ulama dalam tingkatan Basth Kasyf Imani” ini adalah manusia yang sudah terlepas dari jurang dunia material yang sangat dalam dan telah berhasil dalam penyempurnaan jiwanya sebagai penakluk nafsu-nafsu hewani“, sehingga dirinya akan terbebas dari rasa keakuan yang ingin selalu dihormati oleh semua orang, dengan tanpa memperhatikan cacat bathin yang mengeram didalam hatinya.

Tingkatan ketiga adalah; “Wishalbi al-haqq” (persatuan dengan YANG MAHA BENAR). Dalam tingkatan ini, seorang ulama harus melalui pencapaian tingkat peleburan (fana) dan kekekalan (baqa). Karena pada tingkatan ini, dirinya telah dapat melewati seluruh maqamat (tingkatan) lainnya dan dia dapat merenungkan wajah sang kekasih (Allah SWT).

Penampakkan luarnya yang sedih

tak lain merupakan prawacana

untuk ketakterlukiskan kebahagiaan

yang tersembunyi didalamnya

(Sayyid Faridhal Attros Al Kindhy Asy’ari)

Seorang ulama dalam tingkatan ini, akan menyerahkan dirinya kepada kehendak Tuhan, menempatkan diri sepenuhnya dalam genggaman Tuhan. Dan menjadi sumber gita-gita yang menebarkan kegembiraan dan kebahagiaan serta menuntun orang lain ke tempat primordial dan kediaman akhirnya, agar dapat membebaskan dirinya dari nafsu keinginan yang tanpa batas itu.

Dirinya bagaikan

sebuah tempat perlindungan diantara badai

yang mengerikan dan oase yang menyejukkan

di tengah-tengah tandusnya gurun pasir

serta dapat dijadikan sebagai mata air

yang penuh barakah untuk menghilangkan

kebingungan dan kehausan jiwa

(Sayyid Faridhal Attros Al Kindhy Asy’ari)

Maka pada tingkatan yang terakhir inilah, seorang ulama akan mampu menguak selubung keterpisahan eksistensi dan bersatu dengan asal serta sifat primordialnya melalui penyerahan kemauannya sendiri kepada kehendak Tuhan dan menempatkan diri sepenuhnya dalam genggaman Tuhan.

Ulama dalam tingkatan ini akan selalu menyatukan visi antar sesama ulama lainnya agar bersinergi dalam membentuk ummah yang penuh dedikasi tinggi dan menjalin tali persatuan sesama ummat Islam dengan berlandaskan keilmuan (pengetahuan), Sehingga dirinya akan dipersatukan dengan getaran kehidupan alam (mikrokosmos bersatu dengan makrokosmos) yang didalam diri seseorang selalu ada dalam bentuk getaran hati, sehingga jiwanya mengalami perluasan dan mencapai kebahagiaan dan ekstrase yang melingkupi dunia. Sehingga dirinya akan terbebaskan dari belenggu diri yang membatasi penilaiannya terhadap sesuatu hal. Dalam tingkatan inilah seorang ulama akan bersikap obyektif dan tidak terlalu kukuh dengan faham yang dimilikinya ketika melihat seseorang atau suatu kelompok memiliki perbedaan faham dengan dirinya.

Bagi kaum muslim,

mereka (ulama sejati) adalah sarana potensial untuk menyadari nilai warisan masa lampau dari Muhammad Rasuulullah SAW

yang sangat berharga

(Sayyid Faridhal Attros Al Kindhy Asy’ari)

Lisan mereka (para ulama sejati) memiliki sifat realitas batin yang pasti meninggalkan pengaruh pada jiwa pendengarnya. Karena segala ucapan mereka itu merupakan nyanyian abadi dalam dunia, ruang dan waktu, karena segala ucapannya telah terbebas dari rasa kebencian dan kecurigaan yang berlebihan terhadap sesama ummat Islam. Bahkan para ulama sejati telah menjauhkan diri mereka dari para penguasa yang hendak memanfaatkannya.

Nabi SAW bersabda; “Seburuk-buruknya ulama adalah ulama yang mengunjungi penguasa. Dan sebaik-baiknya penguasa adalah, pengusaha yang mengunjungi ulama.” (HR Muslim)

Mereka tidaklah mengalami

proses kemunduran atau perubahan,

mereka selalu sejuk menyejukkan

dalam ucapan maupun ajarannya,

laksana kilau mentari pagi

dipermukaan air yang jernih

(Sayyid Faridhal Attros Al Kindhy Asy’ari)

Catatan :

Mengenai kriteria tingkatan para ulama yang telah saya sebutkan diatas adalah; mereka yang hidup dijaman para sahabat, tabi’ien dan tabi’ien tabi’iet. Dan semoga ulama-ulama kita sekarang ini termasuk dalam salah satu kriteria tingkatan ulama sejati tersebut diatas. Insya Allah ….. !!!.

Selengkapnya...

Ilmu-ilmu yang dipelajari

MK Al-Mukarramah yang berpusat di Bogor ini, mengajarkan ilmu-ilmu dari Al-Qur'an. Termasuk diantaranya adalah ; Ilmu Kasyaf, Al’Laduuni, Al’Bashiirah, Hidzbul Ghaybi, Asyiirul Ghaybi, Hiqmatul Ghaybi, Masyriqul Ghaybi, Maghribul Ghaybi, Ghalibul Ghaybi, Khabarth Ghaybi, Qasyafaathul Ghaybi, Rabaajul Ghaybi, Thabaar Ghaybi, Qaflaan Alamul Ghaybi, Al’Falaqul Ghaybi, Al’Khadamul Ghaybi, dan Al’Ma’rifatul Ghaybi. Al’Muqtasy (Tapak Sancang), Akhbath (Halimunan), Al’Wakhqa (Patigaman), Khubath (Belut Putih), Gharusythawats (Senggara Macan), Yambats (Macan Luwe), Ghuyath (Macan Lodaya), Qasybaarath (Semu Gunting), Ruqbamathusy (Japa Paneguhan), Syaeful Ardhun (Pedang Bumi), Syaefum Maa’un (Pedang Air), Syaefun Naarun (Pedang Api), Syaefur Rifaa’un (Pedang Angin), Syaefi Futuuhul Ghaybi (Pedang Pembuka Kegaiban), Al’Khafy, Syifaa’unnaasyi (Penyembuhan), Muqthaimisy (Braja Musti), Luthmarasy (Pamepes Wesi), Ghundath (Cai Braja), Matsdhamur (Samber Nyawa), Kawaathar (Pupuh Bayu), Naqbasyjal (Lembu Sekilan), Hunthay (Sirep Sampali Putra), Barthan (Kasampurnan), Jumarath (Tapak Getih), Shamfadats (Pancasona), Wakhrath (Gelap Ngampar), Ghamaarth (Gelap Saketi) dan Mahabbatul Qubra (Pengasihan).

Dan disamping semua Ilmu-ilmu tersebut, mereka mendapatkan tambahan Ilmu Bela Diri Dzulfiqar dengan tangan kosong yang terdiri dari 13 jurus Gaib dan Ajaib.

ilmu-ilmu yang sudah beredar setiap malam jum'at berupa amalan-amalan sudah mencapai jumlah ribuan amalan lebih dari 7000 amalan sudah turun ke murid-murid MK Al Mukarramah. itu semua melalui perantara Guru Besar MK Al Mukarramah, Sayyid Faridhal Attros Al Kindhy Asy'ari.

Selengkapnya...

Selasa, 19 Februari 2008

Wise Words.....

Suatu kebenaran itu

tidak usah dicari di kedalaman samudera yang luas,

di Puncak-puncak gunung yang tinggi

dan dihutan-hutan belantara.

Akan tetapi kebenaran itu harus dicari dilubuk hati yang paling dalam.

(Sayyid Faridhal Attros Al Kindhy Asy'ari)



Nafsu keinginan untuk memperoleh sesuatu

dengan sifatnya yang tak mengenal puas dan serakah

merupakan bencana terbesar di segala penjuru dunia.

(Sayyid Faridhal Attros Al Kindhy Asy'ari)



Barangsiapa yang mengejar kebesaran, kekuasaan, dan kekayaan di dunia ini,

maka dunia akan mengikat dirinya, semakin banyak kekayaan dan kekuasaan

yang didapatkan, maka dirinya akan terikat lebih kuat pula.

Sebaliknya siapa yang dapat melepaskan dunia,

maka dunia akan berada dalam telapak tangannya

(Sayyid Faridhal Attros Al Kindhy Asy'ari)




Selengkapnya...

Tanya Jawab Murid dan Mursyid tentang Wasilah

Murid; Guru… Apakah maksud, arti dan pengertian serta tujuan dari Wasilah (Tawasul)…? Saya mohon penjelasan guru…!

Mursyid; Wasilah (Tawasul) berarti; jalan, yang mengandung pengertian untuk menunjukkan jalan yang melaluinya-lah manusia melakukan pendekatan diri secara mutlak kepada Allah SWT, dengan hati (qalb) serta jiwa (nafs)-nya yang disegarkan oleh keagungan, keselarasan, irama dan pola bentuk-bentuk pengamalan melalui dzikrullah yang mengelilingi kaum muslim, yang hidup didalam masyarakat Islam tradisional, dan yang mengungkapkan keindahannya pada lembaran-lembaran suci Al Qur’an. Oleh sebab itulah, wasilah (tawasul) dalam doktrin Islam tradisional dijadikan sebagai induk suci Islam yang merupakan suatu karunia dari hakikah yang terletak dalam hati wahyu Islam. Seperti tersebut dalam firman-Nya;

Artinya :

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan.”(QS. 5 : 35)

Bagi mereka (kaum muslim) yang mengikuti jalan (wasilah) menuju hakikat berdzikrullah atau mengamalkan awrad (wiridan sehari-hari), jalan ini merupakan pembantu utama untuk merenungkan Yang Maha Esa, karena wasilah (tawasul) itu sendiri bertujuan untuk mengingatkan kita kembali, bahwa hanya Allah sajalah yang dapat memenuhi hati (qalb) dan fikiran (fikr) kita.

Sehingga nama siapapun yang disebutkan atau dibawa dalam wasilah (tawasul), justru hal itu akan mengingatkan kembali kebenaran hadist Rasuulullah SAW yang mengatakan bahwa; “Tuhan ada dan tiada yang menyertainya”.

Disinilah fungsi dan peran wasilah (tawasul) sebagai sesuatu yang turun dari dunia spiritual ke dunia fisikal, karena ia (wasilah) memiliki substansi spiritual bathin ketika mengenakan selubung keaneka-ragaman dari nama-nama para malakaitullah, para nabiyullah, para waliyullah dan lain sebagainya pada setiap permulaan wasilah (tawasul).

Dan tentu saja dalam hal ini, nama Allah haruslah lebih didahulukan sebelum nama-nama lainnya, karena nama Tuhan adalah kunci khazanah misteri Tuhan dan pintu gerbang yang nyata.

Banyak dari para ulama-ulama salaf dan orang-orang suci lainnya mengambil hikmah untuk menguak sifat spiritualitas dari wasilah (tawasul) yang memiliki peranan dalam kehidupan spiritual Islam, karena mereka memiliki pengetahuan yang hakiki dan berkemampuan untuk menembus ke dalam makna bathinnya dari wasilah (tawasul) tersebut, sebagai simbol prinsip-prinsip realitas maupun pedoman yang terwujud secara bathiniah. Itulah realitas yang berdasarkan identitas esensial wasilah (tawasul) yang sekaligus merupakan atau sebagai salam penghormatan kaum muslim kepada para pendahulu Islam lainnya.

Maka, menurut doktrin Islam tradisional, wasilah (tawasul) adalah hasil imposisi prinsip spiritual dan intelektual pada nama-nama orang suci yang disebutkan namanya melalui wasilah (tawasul) tersebut.

Akan tetapi, prinsip ini juga tidak boleh tidak, ia harus dihubungkan atau harus ada keterhubungan antara nama-nama yang disebutkan dengan keselarasan (tanasub) universal yang terdapat di dalam pengamalan awrad yang digunakan untuk berdzikrullah dalam seluruh manifestasi kosmik.

Dan dengan bantuan metode tradisional mengenai realisasi spiritual, maka wasilah (tawasul) yang dilakukan seseorang atau sekelompok muslim, maka akan terjadi transformasi dalam jiwanya atau jiwa mereka, dengan ditemukannya kembali hubungan primordialitas (al fitrah) manusia, juga menjadi inti praktik spiritual atau upacara (ritual) yang memanfaatkan ilmu bathin Islam tradisional tentang pengamalan awrad dari ayat-ayat suci Al Qur’an yang disakralkan oleh keyakinan tertentu.

Wasilah (tawasul) dalam Islam tradisional terdiri dari tiga tingkatan spiritual yang dipandang sebagai suatu perpanjangan praktik spiritual fundamental dalam penerimaan rumusan jalan suci tertentu, dimana terdapat kebergantungan yang bersifat religius dari kewibawaan spiritual, ketika dipraktikkan dalam kondisi dan nuansa tradisional yang kental serta keselarasan (tanasub) dari tiga tingkatan wasilah (tawasul) dalam doktrin Islam Tradisional, dengan tanpa mengadopsi ritual-ritual bawaan dunia Barat. Sebagai contoh di dalam islam kita dapat merujuk para waliyyullah (awliya), yang menggunakan wasilah (tawasul) sebelum melaksanakan praktik spiritual berupa dzikrullah atau doa-doa suci berupa awrad yang direfleksikan dalam ungkapan bathiniah individualitas seorang muslim.

Tingkatan pertama dalam wasilah (tawasul) adalah; wasilah (tawasul) Ijmal, yakni suatu wasilah (tawasul) yang secara menyeluruh dan tidak terjadi pembedaan satu sama lain.

Pada tingkatan wasilah ijmal ini, pengetahuan Allah, seluruh entitas tak berubah dan tak terbedakan, karena Allah SWT merupakan asal-usul kosmos, dan kosmos itu sendiri adalah manifestasi dari nama-nama ilahi yang paling baik (asmaul husna). Dalam konteks ini, segala sesuatu yang dilihat maupun yang didengar oleh manusia adalah; nama-nama.

Sehingga dapatlah dikatakan, bahwa manusia adalah bentuk lahiriah dari seluruh nama itu secara menyeluruh (ijmal), sedangkan kosmos adalah bentuk lahiriah dari seluruh nama tersebut secara terperinci. Hal ini yang membuat para ulama salaf dan ahli makrifat (urafa) selalu melibatkan nama-nama para malaikat Allah, para Nabi dan rasul Allah, para wali-wali Allah dan nama-nama dari para mursyid (guru spiritual) serta nama para ahli kubur dari keluarganya sendiri, berikut nama para ahli kubur sesama kaum muslim.

Seluruh nama-nama itulah yang biasa dibawa (disebut) dalam setiap wasilah (tawasul), sebelum melakukan dzikrullah dengan doa-doa dan pengamalan ayat-ayat suci Al Qur’an (awrad).

Hubungan antara nama-nama dan wasilah (tawasul) justru ditemukan dalam hubungan metafisik yang mengikat keduanya karena ini merupakan upaya dan usaha individual (ijtihad) untuk memperoleh pengetahuan tentang hukum suci (syariah) secara lahiriah.

Sedangkan upaya bathin individual diarahkan untuk sebagai penyucian jiwa guna memperoleh pengetahuan tentang Allah (makrifatullah) yang dikontraskan dengan pemberian (wahb) pengetahuan melalui suatu jalan (wasilah) pembuka (fath) dan penyingkapan (kasyf) yang kedua-duanya merupakan anugerah Allah SWT, berupa rahmat, yang hanya dapat difahami dan dimengerti oleh seseorang atau suatu golongan yang sudah siap menerima pengetahuan mengenai wasilah (tawasul) yang sesungguhnya.

Tingkat kedua dalam wasilah (tawasul) adalah Wasilah Intiqal, yakni; suatu wasilah (tawasul) yang merujuk pada jalan kepindahan, dimana para wali-wali Allah (awliya) berpindah dari satu kedudukan (maqam) ke kedudukan lain (maqam maqamat), untuk menapak ke kedudukan yang lebih tinggi. Wasilah dalam tingkatan intiqal ini, dari sudut pandang Islam tradisional merupakan proses yang diikuti oleh fikiran (fikr) dalam pencariannya akan kebenaran.

Proses ini dimungkinkan oleh kekuatan logis fikiran yang merupakan perluasan dari prinsip spiritual dan prinsip intelektual. Inilah perjalanan intiqal yang dilakukan manusia, dari satu pengetahuan ke pengetahuan lain, dari satu kedudukan ke kedudukan lain dengan cara melakukan praktik spiritual melalui wasilah (tawasul).

Dalam konteks Islam tradisional, wasilah intiqal ini selalu merujuk kepada nama-nama malaikat dan para nabi serta nama-nama rasul Allah yang dibawa (disebut) dalam wasilah (tawasul) pada setiap praktik spiritual dalam melakukan dzikrullah dengan menggunakan doa-doa suci dan pengamalan dari ayat-ayat Al Qur’an (wirid atau awrad).

Dalam hal ini, wasilah Intiqal sesungguhnya merupakan sarana untuk mengekspresikan pengetahuan yang benar-benar intelektual, sebagai tangga untuk mendaki ke peringkat transenden. Oleh karenanya, merupakan suatu kebodohan jika wasilah (tawasul) dianggap sebagai sentimentalisme dan dianggap sebagai sekadar alat untuk mengekspresikan keanehan individual serta bentuk subyektifisme oleh sebagian orang yang anti Islam tradisional.

Sedangkan tingkatan ketiga dari wasilah (tawasul) adalah Wasilah Mu’bah, yakni; segala sesuatu yang dibolehkan oleh hukum suci (syariah) bagi sang penempuh jalan spiritual (salik) yang telah berpaling kepada Allah SWT.

Wasilah Mu’bah berfungsi untuk menyampaikan pesan intelektual dan spiritual, maka wasilah mu’bah ini telah saling melengkapi dengan wasilah ijmal maupun wasilah intiqal, dan merujuk kepada realitas yang mendasari keduanya, sehingga banyak hal yang dibolehkan (mu’bah) bagi orang-orang biasa dan awam, lalu menjadi terlarang bagi dirinya atau diri orang lain dalam pandangan segolongan orang yang pada dasarnya tidak mau berusaha untuk mencoba atau belajar memahami rahasia yang tersembunyi dibalik wasilah (tawasul) tersebut.

Sehingga dapatlah dikatakan bahwa orang-orang semacam ini tidaklah mudah untuk menerima suatu kebenaran yang menjadi faham orang lain, kecuali faham mereka sendiri tentunya, yang sebetulnya belum tentu benar pula. Dalam Islam tradisional, wasilah mu’bah selalu digunakan dalam praktik spiritual dengan membawa (menyebut) nama-nama para waliyyullah (awliya) dan para mursyid (guru-guru spiritual) serta nama-nama para ahli kubur, baik yang ada keterikatan keluarga maupun yang tidak ada hubungan sama sekali, akan tetapi, masih saudara semuslim.

Tingkatan terakhir dari wasilah ini (wasilah mu’bah) selalu berkaitan dengan kesadaran spiritual muslim yang tak dapat diindentifikasikan secara jelas dan tak mampu diwujudkan secara nyata, karena apapun tingkatannya dari ketiga macam wasilah itu adalah; rasa mahabbahnya seorang muslim terhadap pendahulu Islam yang telah tiada.

Pemahaman tentang wasilah (tawasul) dalam doktrin Islam tradisional serta penemuan prinsip-prinsip itu, yang membuat pemikiran Islami tentang wasilah (tawasul), tentu saja tidak dapat dicapai tanpa mencurahkan perhatian sepenuhnya kepada nabi serta ibadah-ibadah yang dibawa kedunia ini sebagai perintah Tuhan, juga memperhatikan bumi dan alam sebagai kesatuan yang merefleksikan surga dan mengembalikan karakter primordial seorang muslim yang asli dan yang tidak terkontaminasi dengan doktrin dunia barat, sebagai jalan yang dicipta untuk beribadah kepada Allah SWT, dengan tanpa adanya pertentangan-pertentangan yang mengakibatkan terjadinya perpecahbelahan sesama antar umat islam.

Itulah sekilas mengenai wasilah (tawasul), yang sebagian besar kaum muslim menganggap bahwa dengan melakukan wasilah (tawasul) sebelum mengerjakan pengamalan hari-hari (wirid atau awrad) dari ayat-ayat suci Al Qur’an akan dapat membangkitkan rasa kesucian melalui keheningan, yang meskipun tidak wujud, namun mengejawantahkan kehadiran ruh dalam roda eksistensi duniawi yang sebenarnya amat fana ini.

Murid; Guru… Ada sebagian kecil dari kelompok kaum muslim yang menyatakan bahwa melakukan wasilah (tawasul) itu haram hukumnya, bahkan mereka tidak segan-segan untuk mengatakan musyrik bagi siapapun dari kaum muslim yang mengerjakan wasilah (tawasul) tersebut. Apakah benar demikian guru…?

Mursyid; Kamu tidak perlu menjadi fikiran mengenai hal itu, bacakan saja olehmu Al Qur’an pada surat Az zumar ayat 9 seperti tersebut dibawah ini kepada mereka, jadi kamu tahu siapa yang sebenarnya musyrik itu.

Artinya;

(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.”(QS. 39 : 9)

Selengkapnya...