Kamis, 28 Agustus 2008

DEKLARASI MAJLIS AWRAD MUSLIM INDONESIA (MAMI)

PRESS RELEASE

DEKLARASI

MAJLIS AWRAD MUSLIM INDONESIA (MAMI)

Villa Puncak Manik, Desa Loji, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor

Tgl 23 Agustus 2008

Pada hari Sabtu, malam Minggu, tanggal 23 Agustus 2008 di Villa Puncak Manik, Desa Loji, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Majlis Awrad Muslim Indonesia (MAMI) telah dideklarasikan oleh Ketua Dewan Wali MAMI, Sayyid Faridhal Attros Al Kindhy Asy’ari, dihadapan para Pengurus Pusat MAMI yang juga dihadiri oleh ribuan anggota MAMI se-Jabodetabek. Hadir juga beberapa tokoh nasional dan beberapa petinggi TNI dan POLRI, diantaranya Laksamana Slamet Subiakto (KASAL).

Deklarasi MAMI dilaksanakan bertepatan dengan diselenggarakannya acara An Nadzarul Akbar dan Peringatan Isra Mi’raj Nabi Besar Muhammad SAW.

Majlis ini sengaja dibentuk oleh Sayyid Faridhal Attros Al Kindhy Asy’ari dengan tujuan untuk mempererat tali silaturahmi sesama antar ummat Muslim dalam komunitas Ahlus Sunah Wal Jamaah (ASWAJA) yang pada beberapa dekade terakhir ini Komunitas Aswaja selalu ditekan dan dilecehkan. Diharapkan dengan berdirinya MAMI ini, Komunitas Aswaja, mempunyai wadah untuk mendalami spiritualisme Islam yang sudah mulai tersisihkan dan terkontaminasi dengan budaya Barat, sekaligus MAMI dijadikan sebagai sentralisasi Komunitas Aswaja secara nasional maupun internasional.

MAMI ini terbentuk dari perjalanan dan pengalaman spiritual Syaikh Muhyidin Abdul Qadir Al Jailani dalam mencari hakikat Awrad Fadhl yang sudah sangat lama terpendam. Insya Allah dengan berdirinya MAMI ini nuansa Islam tradisional dalam komunitas Aswaja yang sarat dengan spirit maupun budaya dapat menggairahkan semangat persaudaraan antar sesama ummat Islam dan meningkatkan harmonisasi dengan penganut agama lain agar tidak terjadi pertentangan antar suku, ras dan agama dalam rangka menjalin dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Awrad Fadhl adalah suatu anugerah yang berasal dari kemurahan rahmat Allah SWT, dan sekaligus menjadi induk dari seluruh Awrad yang pernah ada, yang dijalankan oleh para wali-wali Abdal.

Pada masa hidupnya Syeikh Abdul Qadir Al Jailani, Awrad Fadhl ini telah menjadi suatu ketentuan yang harus dijalankan atau diamalkan oleh jutaan orang yang menjadi murid-muridnya, baik pria maupun wanita dengan secara bersama-sama dalam suatu majlis, yakni Majlis Awrad yang berpusat di kota Baghdad-Irak. Ketika beliau menjadi seorang Guru Besar Awrad Fadhl (al-mursyid-guru spiritual).

Majlis Awrad sendiri telah menjadi sangat popular pada masa itu, yang hanya diberlakukan pada setiap hari Rabu pagi setelah menjalankan shalat dhuha dengan berjamaah dan hari Jumat (ba’da shalat ashar) serta hari Minggu (ba’da shalat ashar).

Menurut Ketua Umum MAMI, KH Armanisyah, manfaat bagi orang yang mengamalkan atau berzikrullah dengan menggunakan Awrad Fadhl adalah sebagai berikut:

Insya Allah …diampuni semua dosa-dosanya (terkecuali syirik), baik itu dosa besar maupun dosa kecil, dosa yang lama maupun yang baru, dan dosa yang disengaja maupun yang tidak disengaja.

Insya Allah …mendapatkan kemulyaan hidup, baik dimata Allah maupun dimata manusia. Serta mendapatkan kebahagiaan lahir maupun batin.

Insya Allah …mendapatkan ketenangan – kedamaian baik secara lahir maupun batin.

Insya Allah …diselamatkan dari pada fitnah kubur dan fitnah dunia.

Insya Allah …diberikan kenikmatan dalam beribadah kepada Allah SWT.

Insya Allah …akan dimudahkan dalam segala urusan atau persoalan yang tengah dihadapinya.

Insya Allah …dimudahkan dalam proses sakaratul mautnya.

Insya Allah …dikabulkan dalam setiap permintaan atau doanya kepada Allah SWT.

Insya Allah …dijauhkan dirinya dari sifat munafik dan sifat tercela lainnya.

Insya Allah … disempurnakan hal ikhwal hidup dan kehidupannya.

Insya Allah …dimudahkan jalan rizqi dan jalan usahanya.

Insya Allah …dimudahkan atau didekatkan jodohnya

Insya Allah …dijauhkan dari penyakit gila-buta-kusta-tho’un dan pikun.

Insya Allah …mendapatkan keharmonisan dan kebahagiaan didalam rumah tangganya.

Insya Allah …dicintai dan disayangi semua orang.

Insya Allah ……diperhinakan oleh Allah ta’ala orang-orang yang iri dengki dan hasud serta memusuhinya.

Insya Allah …ditajamkan mata hati dan daya ingatnya.

Insya Allah …mendapatkan kewibawaan yang besar.

Insya Allah …dibaguskan paras ataupun wajahnya.

Insya Allah …dikokohkan kedudukan maupun jabatannya.

Insya Allah …diselamatkan dari segala macam bencana

Insya Allah …diselamatkan dari segala macam bentuk kejahatan jin dan manusia maupun sihir.

Insya Allah …diselamatkan dari kecurangan dan tipu daya orang – orang yang zalim.

Insya Allah…mendapatkan ilmu-ilmu ghaib seperti berikut ini; ilmu kasyaf, al laduuni, al bashiirah, al masyriqul ghaybi, al maghribul ghaybi, hidzbul muqarabbin, asyirul ghaybi, al hiqmatul ghaybi, al bayyinatul ghaybi dan beberapa ilmu-ilmu syaefi seperti; syaefi syaefur rifaa'un, syaefum maa'un, syaeful ardhun, syaefun naarun, syaefi futuhul ghaybi, maupun ilmu mahabbatul qubra, ilmu khafiy, ilmu asy’syifaa, ilmu al falaqiyah, hizib, asrar, al hikmah dan lain sebagainya.

Insya Allah…masih banyak lagi kemanfaatannya yang tidak dapat disebutkan disini.

Sedangkan menurut Ketua Harian MAMI, KH Maslahul Ihsan, adab (tata cara) untuk mendapatkan faedah-faedah atau kemanfaatan dari Awrad Fadhl dengan lancar dan mudah, maka hal tersebut harus ditunjang dengan mengikuti pengamalan Awrad Fadhl dalam berzikrullah dengan baik dan benar serta mengupayakan untuk memberi makan pada fakir miskin dan menyantuni anak-anak yatim/piatu dengan hati ikhlas karena Allah semata pada setiap hari Jum’at (ba’da shalat jumat). Dalam hal pemberian ini, bukanlah banyaknya yang kita berikan, akan tetapi keikhlasan hati kitalah yang terpenting.

Dan persyaratan lainnya bagi seseorang atau suatu kaum yang hendak mengamalkan Awrad Fadhl ini adalah agar do’anya cepat diijabah oleh Allah SWT, maka berusahalah untuk bersikap jujur, hilangkan rasa iri, dengki dan benci terhadap sesama hamba Allah serta berkeyakinan kuat bahwa doanya akan dikabulkan oleh Allah SWT, dengan tanpa berburuk sangka sedikitpun juga kepada-Nya. Insya Allah…terkabulkan apa-apa yang anda inginkan. Dan jika semua persyaratan tersebut diatas sudah dijalani, kemudian apa keinginan anda tidak tercapai, maka saya (KH Maslahul Ihsan) bersedia dilaknat oleh Allah SWT. Kenapa demikan? Hal ini dikarenakan saya sudah ribuan kali merasakan manfaat dari zikrullah yang menggunakan Awrad Fadhl untuk segala macam kebutuhan atau hajat kita kepada Allah baik didunia maupun diakhirat kelak.

Ketentuan yang harus dipatuhi dalam suatu majlis Awrad Fadhl minimal 41 orang (sudah berikut pimpinan atau yang memimpin Awrad Fadhl tersebut) yang secara bersama-sama mengamalkan Awrad Fadhl tersebut.

Ketika ditanyakan kepada Sekjen MAMI, KH Sofwan Kurdi, perihal fatwa haram tentang rokok yang dikeluarkan oleh MUI, ia menjawab bahwa fatwa tersebut terlalu berlebihan, karena tidak ada satupun dalil yang mengatakan bahwa rokok termasuk dalam katagori barang yang haram. Terkecuali jika rokok itu disebut sebagai merusak kesehatan atau disebut sebagai sesuatu yang makruh, maka boleh-boleh saja. Saya juga heran MUI mengharamkan rokok. Dasarnya dari mana?

Dan yang sama-sama kita ketahui bahwa pada setiap batang rokok itu akan mengeluarkan lebih dari 4.000 bahan kimia beracun yang membahayakan bagi kesehatan bahkan dapat membawa kematian. Seperti beberapa diantaranya adalah bahan radio aktif (polonium-201), ammonia, naphthalene, DDT, arsenic, hydrogen cyanide, tar, nikotin dan karbon monoksida. Apakah karena mengandung racun seperti demikian lantas rokok menjadi barang yang diharamkan. Jelas hal ini sangat mengada-ada dan terlalu dibuat-buat. Seharusnya suatu benda dapat disebut sebagai barang haram adalah sesuai dengan ketentuan Allah SWT dalam hukum syariah. Jikalau seandainya racun itu haram, maka kendaraan bermotor yang mengeluarkan uap beracun apa juga harus disebut sebagai sesuatu yang haram? Belum lagi dengan udara (polusi) yang selalu kita hisap setiap hari apakah juga harus disebut sebagai sesuatu yang haram, dikarenakan beracun?

Seperti juga halnya obat-obatan, yang merupakan barang beracun dan berbahaya jika tidak digunakan sesuai petunjuk dan aturan yang benar. Apakah obat-obatan harus disebut sebagai barang haram juga? Sepertinya MUI tidak memahami hakikat yang sesungguhnya dari arti sebuah fatwa.

Sekjen MAMI, KH Sofwan Kurdi, menyatakan dan menfatwakan dengan tegas bahwa rokok tidak termasuk dalam katagori haram dalam hukum Islam, akan tetapi dapat merusak kesehatan karena banyak racun yang terhisap didalamnya.

Menjawab pertanyaan seputar permasalahan fatwa, Ketua Dewan Wali MAMI, Sayyid Faridhal Attros Al Kindhy Asy’ari, menjelaskan bawa pada Kitab Al Mantiq yang ditulis oleh Syaikh Barkasy Rabbani, disebutkan bahwa akar kata Fatwa memiliki kesamaan dalam arti dan pengertian, walaupun terjadi sedikit perubahan-perubahan yang disesuaikan dengan periode zaman. Seperti halnya dengan fatwa yang diambil dari akar kata “Yasyafatwaqadha” pada masa hidupnya Nabi Musa as yang terdapat didalam Kitab Taurat (periode awal – bahasa Ibrani) mengandung pengertian sebagai; “mengikuti aturan dalam kebenaran”.

Jika fatwa diambil dari akar kata “Futwaqarasy” pada masa hidupnya Nabi Dawud as (dalam bahasa Qibti) mengandung pengertian; “Jangan melanggar aturan yang ditentukan”. Jika fatwa diambil dari akar kata; “Shaffathawaraq” pada masa hidupnya Nabi Isa as (dalam bahasa Suryani) mengandung arti; “mematuhi aturan orang yang dituakan”. Dan jika istilah fatwa diambil dari akar kata; “Fatawarakh”, maka mengandung arti dan pengertian; “mematuhi saran dan nasihat pimpinan”.

Dalam bahasa, kata – kata menjadi substansi yang menggantikan hakikat materi dunia eksternal, dan menyiratkan keselarasan kosmik. Begitupula halnya dengan arti dan pengertian Fatwa dalam tata bahasa (bahasa arab) yang berarti; “aturan-aturan yang diberlakukan dalam hukum atau jawaban-jawaban dari pertanyaan hukum dalam ilmu fiqih”. Sedangkan fatwa dalam bahasa syara’ mengandung pengertian sebagai; “ketentuan atau undang-undang yang harus dipatuhi”.

Beberapa dari ulama salaf pada masa lampau mengartikan fatwa sebagai; “suatu keputusan hukum yang tidak boleh dilanggar”. Doktrin tradisional dari para ulama sufi (tawasuf), mereka mengartikan fatwa sebagai; ”ketetapan mutlak dari hasil kesepakatan bersama”. Dengan demikian, walaupun terdapat perbedaan dalam menafsirkan arti fatwa akan tetapi terdapat pula kemiripan atau persamaan antara yang satu dengan yang lain dalam arti yang sesungguhnya pada konteks fatwa itu sendiri.

Hal inilah yang memungkinkan terjadinya sebuah peningkatan untuk mengenali lebih dekat dan menembus lebih dalam kesubstansi ilahi, sebagai pengejawantahan yang dapat dilihat dan dapat membantu kaum muslim menembus dan ditembusi oleh kehadiran ilahi yang sesuai dengan kapasitas spiritual setiap orang yang menafsirkan fatwa sesuai dengan persepsinya masing-masing.

Fatwa menurut arti dan pengertian dari para kaum mukhlis, yaitu; orang-orang yang mendapatkan taufiq dari Allah SWT untuk selalu mentaati petunjuk dan perintah-Nya serta menjauhi larangan-larangan-Nya. mereka (para kaum mukhlis) menganggap bahwa fatwa itu merupakan refleksi dari ketakterbatasan khazanah Tuhan yang melambangkan pusat teragung dalam bentuk dalam bentuk doktrinasi yang suci lagi mensucikan, karena dari-Nya-lah segala sesuatu itu berasal dan kemana segala sesuatu itu kembali untuk membuka kunci khazanah misteri Tuhan dan pintu gerbang menuju ke Yang Nyata.

Fatwa menurut arti dan pengertian dari para kaum Hanif, yaitu; orang-orang yang selalu berpegang teguh pada kebenaran, dan tidak pernah meninggalkannya. Mereka (para kaum Hanif) menafsirkan arti fatwa sebagai; sesuatu yang merupakan penjelmaan duniawi dari pola dasar ilahi yang mendasari timbulnya seluruh makhluk, karena substansi sesungguhnya dari makhluk Tuhan itu adalah; pengentalan nafas Yang Maha Pengasih (Al-Rahman), yang ditiupkan pada pola-pola dasar samawi dalam bentuk Nur Muhammad (Al-A’yan Al-Tsabitah Nuurul Muhammad), sehingga fatwa dalam konteks mereka (para kaum Hanif) merupakan pakaian luar untuk firman Ilahi dalam bentuk peraturan-peraturan yang harus dijalani dialam nyata (dunia), yang berasal dari eksistensi universal.

Dalam bahasa, kata – kata menjadi substansi yang menggantikan hakikat materi dunia eksternal, dan menyiratkan keselarasan kosmik. Begitupula halnya dengan arti dan pengertian Fatwa dalam tata bahasa (bahasa arab) yang berarti; “aturan-aturan yang diberlakukan dalam hukum atau jawaban-jawaban dari pertanyaan hukum dalam ilmu fiqih”. Sedangkan fatwa dalam bahasa syara’ mengandung pengertian sebagai; “ketentuan atau undang-undang yang harus dipatuhi”.

Beberapa dari ulama salaf pada masa lampau mengartikan fatwa sebagai; “suatu keputusan hukum yang tidak boleh dilanggar”. Doktrin tradisional dari para ulama sufi (tawasuf), mereka mengartikan fatwa sebagai; ”ketetapan mutlak dari hasil kesepakatan bersama”. Dengan demikian, walaupun terdapat perbedaan dalam menafsirkan arti fatwa akan tetapi terdapat pula kemiripan atau persamaan antara yang satu dengan yang lain dalam arti yang sesungguhnya pada konteks fatwa itu sendiri.

Hal inilah yang memungkinkan terjadinya sebuah peningkatan untuk mengenali lebih dekat dan menembus lebih dalam kesubstansi ilahi, sebagai pengejawantahan yang dapat dilihat dan dapat membantu kaum muslim menembus dan ditembusi oleh kehadiran ilahi yang sesuai dengan kapasitas spiritual setiap orang yang menafsirkan fatwa sesuai dengan persepsinya masing-masing.

Fatwa menurut arti dan pengertian dari para kaum mukhlis, yaitu; orang-orang yang mendapatkan taufiq dari Allah SWT untuk selalu mentaati petunjuk dan perintah-Nya serta menjauhi larangan-larangan-Nya. mereka (para kaum mukhlis) menganggap bahwa fatwa itu merupakan refleksi dari ketakterbatasan khazanah Tuhan yang melambangkan pusat teragung dalam bentuk dalam bentuk doktrinasi yang suci lagi mensucikan, karena dari-Nya-lah segala sesuatu itu berasal dan kemana segala sesuatu itu kembali untuk membuka kunci khazanah misteri Tuhan dan pintu gerbang menuju ke Yang Nyata.

Fatwa menurut arti dan pengertian dari para kaum Hanif, yaitu; orang-orang yang selalu berpegang teguh pada kebenaran, dan tidak pernah meninggalkannya. Mereka (para kaum Hanif) menafsirkan arti fatwa sebagai; sesuatu yang merupakan penjelmaan duniawi dari pola dasar ilahi yang mendasari timbulnya seluruh makhluk, karena substansi sesungguhnya dari makhluk Tuhan itu adalah; pengentalan nafas Yang Maha Pengasih (Al-Rahman), yang ditiupkan pada pola-pola dasar samawi dalam bentuk Nur Muhammad (Al-A’yan Al-Tsabitah Nuurul Muhammad), sehingga fatwa dalam konteks mereka (para kaum Hanif) merupakan pakaian luar untuk firman Ilahi dalam bentuk peraturan-peraturan yang harus dijalani dialam nyata (dunia), yang berasal dari eksistensi universal.

Dalam konteks sufiyah (kaum sufi-tasawuf), fatwa terbagi dalam tingkatan yang disesuaikan dengan kebutuhannya, yaitu; Fatwa Fa’il (aturan pelaku, Allah Yang Maha Benar), Fatwa Faqd (aturan yang hilang – kehilangan) dan Fatwa Fatrah (aturan kelemahan).

Fatwa Fa’il merupakan suatu ketentuan (aturan) dari Allah Yang Maha Benar (Al Haqq) yang diberlakukan oleh seluruh hamba ciptaan-Nya, dan khususnya kepada para Nabi-Rasul Allah. Dalam hal ini, Allah SWT sebagai pelaku eksistensi dalam segala keputusan-Nya. dalam tingkatan Fa’il, fatwa akan merujuk keperjanjian primordial mengenai masuknya doktrinasi ilahi kepada hamba ciptaan-Nya dalam bentuk taqwa antara jin dan manusia yang harus mereka patuhi. Seperti tersebut dalam firman-Nya:

Artinya :

“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (QS. 51 : 56)

Dalam tingkatan Fatwa Fa’il ini, aspek tertentu dari jiwa manusia haruslah memiliki kecenderungan yang berhubungan dengan kezuhudan dan keshalehan serta perluasan (basth), sehingga aturan-aturan yang diberlakukan Tuhan atas diri mereka menjadi sesuatu yang mutlak (absolut) yang memungkinkan eksistensi jiwa manusia tidak melampaui batas-batas dan norma-norma yang telah ditentukan oleh Yang Maha Berkuasa (Al Qadiir), hingga mereka meninggalkan dunia material dan menghujamkan akar-akar eksistensinya kedalam dunia spiritual, agar keimanan mereka tetap terjaga dan menjadi fana dalam Allah (Fana Fi Allah).

Allah Ta’ala telah berfirman dalam Al-Qur’an :

Artinya :

Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata: "Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang mati." Allah berfirman: "Belum yakinkah kamu ?" Ibrahim menjawab: "Aku telah meyakinkannya, akan tetapi agar hatiku tetap mantap (dengan imanku) Allah berfirman: "(Kalau demikian) ambillah empat ekor burung, lalu cincanglah semuanya olehmu. (Allah berfirman): "Lalu letakkan diatas tiap-tiap satu bukit satu bagian dari bagian-bagian itu, kemudian panggillah mereka, niscaya mereka datang kepadamu dengan segera." Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”(QS. 2 : 260)

Fatwa Fa’il adalah sarana terbaik atas diri manusia, karena ia merupakan tali kekang agar setiap diri dapat terhindar dari pelanggaran-pelanggaran pada aturan atau ketentuan Allah SWT, sekaligus dapat mengekspresikan rahasia-rahasia Ilahi yang terhalus karena sekalipun sumbernya adalah dunia material, jiwa manusia akan bekerjasama dengan tubuh duniawi melalui sebuah mukjijat.

Sedangkan mukjijat yang berada dalam tubuh manusia untuk mencapai kesempurnaan akan terungkap meski hanya sekejab dan dapat berubah laksana sebuah cermin yang mampu memantulkan suatu perbuatan suci, sesuai dengan refleksi dari jiwa itu sendiri. Dan dapatlah dikatakan, bahwa Fatwa Fa’il adalah bagian yang tak terpisahkan dari doktrinasi aturan-ketentuan dan undang-undang yang menjadi prerogatif Allah SWT terhadap hamba ciptaan-Nya khususnya para malaikat, jin dan manusia, agar dipatuhi (tidak dilanggar). Karena Fatwa Fa’il ini melambangkan hakikat realitas penerbangan dan pendakian bagi jiwa manusia dalam melawan seluruh hal yang merendahkan derajat serta menurunkan dunia ini, yang pada akhirnya akan mengantar manusia pada pengungkapan dan pengenalan jatidirinya sendiri.

Dalam Fatwa Fa’il ini berisikan perintah dan larangan yang lebih spesifik dan diperuntukkan bagi para Nabi dan Rasul-Rasul Allah. Hal ini dikarenakan ia (Fatwa Fa’il) merupakan bagian dari ekspresi kesempurnaan dan keragaman eksistensi manusia yang didekatkan kepada-Nya (Al Muqarrabin), sebagai cara untuk mengungkapkan keyakinan Ilahiah didalam keesaan dari suatu ketajaman penglihatan intuisif, yang memungkinkan pendakian jiwa melalui kebenaran fenomenal, yang naik ke esensi-esensi dan melodi-melodi keabadian Tuhan. Sehingga perintah maupun larangan melalui firman-Nya menjadi suatu keharusan mutlak yang wajib dilakukan.

Beberapa contoh Fatwa Fa’il dalam Al-Qur’an :

Artinya :

Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.”(QS. 2 : 208)

Artinya :

(Dan Allah berfirman): "Hai Adam bertempat tinggallah kamu dan isterimu di surga serta makanlah olehmu berdua (buah-buahan) di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu berdua mendekati pohon ini, lalu menjadilah kamu berdua termasuk orang-orang yang zalim."(QS. 7 : 19)

Artinya :

Maka Kami berkata: "Hai Adam, sesungguhnya ini (iblis) adalah musuh bagimu dan bagi isterimu, maka sekali-kali janganlah sampai ia mengeluarkan kamu berdua dari surga, yang menyebabkan kamu menjadi celaka.” (QS. 20 : 117)

Fatwa Faqd (aturan yang hilang-kehilangan) adalah sarana terbaik bagi manusia untuk mengekspresikan aturan dan ketentuan-ketentuan Allah SWT melalui lisan para Nabi dan Rasul-Rasul-Nya untuk seluruh kaum jin dan manusia. Dalam doktrin tradisional mengenai Fatwa Faqd dengan Fatwa lainnya mempunyai sumber yang sama, yaitu; Intelek, dan saling melengkapi serta jauh dari adanya pertentangan antara satu dengan lainnya, karena kehadiran Tuhan dan Intelegensi kosmik yang bersinar dalam diri manusia merupakan sarana untuk menyadari keberadaan Yang Maha Esa sebagai wujud tertinggi, dan menjadi sarana pula untuk menyadari perintah maupun larangan yang Allah berlakukan atas setiap diri jin maupun manusia melalui sabda para Nabi dan Rasul-Rasul-Nya dengan mengintegrasikan agama pada seluruh segi kehidupan serta memasukkan kehidupan itu sendiri kedalam irama-irama ibadah dan tatanan nilai yang ditentukan oleh agama Islam (Dinil Islam), seperti tersebut didalam firman-Nya :

Artinya :

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.”

(QS. 33 : 21)

Doktrin sufi mengenai Fatwa Faqd adalah, bahwa segala sesuatu yang ada dialam Makrokosmos terdiri dari bentuk eksternal (shurah) dan bentuk makna (ma’na) yang mewujud sebagai hasil imposisi makna pada substansi arti dan pengertian Fatwa Faqd pada shurahnya.

Akan tetapi, dikarenakan adanya pengaruh ma’na pada Fatwa Faqd atas shurah, maka bentuk eksternal dari keputusan yang terdapat dari fatwa ini akan menjadi lebih transparan dan dengan mudah mengungkapkan makna batin dari perbuatan atau pelanggaran dosa yang dilakukan oleh ummat Rasuulullah SAW (kaum muslim) berupa teguran dari Allah SWT dalam bentuk wahyu, yang kemudian disampaikan-lah kepada ummat Nabi SAW melalui sabdanya. Jadi dalam Fatwa Faqd ini, peran Rasuulullah SAW adalah menyampaikan amanah kepada seluruh manusia dengan sejelas-jelasnya.

Beberapa contoh mengenai Fatwa Faqd seperti tersebut dalam Al-Qur’an :

Artinya :

Hai Nabi, sesungguhnya Kami mengutusmu untuk jadi saksi, dan pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan, dan untuk jadi penyeru kepada Agama Allah dengan izin-Nya dan untuk jadi cahaya yang menerangi. Dan sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang mukmin bahwa sesungguhnya bagi mereka karunia yang besar dari Allah.

Dan janganlah kamu menuruti orang-orang yang kafir dan orang- orang munafik itu, janganlah kamu hiraukan gangguan mereka dan bertawakkallah kepada Allah. Dan cukuplah Allah sebagai Pelindung.” (QS. 33 : 45 s.d. 48)

Artinya :

Mereka bertanya tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah: "Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan." Dan apa saja kebaikan yang kamu buat, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya. Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah: "Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidilharam dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah. Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh. Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya." Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: " Yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir, tentang dunia dan akhirat. Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim, katakalah: "Mengurus urusan mereka secara patut adalah baik, dan jika kamu bergaul dengan mereka, maka mereka adalah saudaramu; dan Allah mengetahui siapa yang membuat kerusakan dari yang mengadakan perbaikan. Dan jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia dapat mendatangkan kesulitan kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran. Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran." Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.”(QS. 2 : 215 s.d. 222).

Artinya :

Jika mereka tetap berpaling, maka sesungguhnya kewajiban yang dibebankan atasmu (Muhammad) hanyalah menyampaikan (amanat Allah) dengan terang” (QS. 16 : 82)

Fatwa tingkatan ketiga adalah Fatwa Fatrah, yaitu; suatu ketentuan-aturan yang lemah, dimana fatwa semacam ini banyak ditemukan dikalangan para alim ulama yang memiliki doktrin Nabi SAW bahwa mereka (kaum ulama) adalah pewaris-penerus para Nabi.

Menurut sudut pandang tradisional yang disadur dari Kitab Makarim Al-Ahlaq pada halaman 162 yang ditulis oleh Imam Abdullah Zaini, dengan jelas disebutkan, bahwa Fatwa Fatrah sendiri telah terbagi menjadi tiga tingkatan, yakni; Fatwa yang hanya untuk diberlakukan pada golongan para ulama salaf dan fatwa untuk golongan ulama kalaf sedangkan tingkatan ketiga dari fatwa fatrah ini hanya diperuntukkan bagi kalangan atau golongan orang-orang biasa yang bukan dari kelompok ulama. Konseptual dari Fatwa Fatrah tingkatan ketiga ini lebih dekat kepada Futyaa (petuah-wejangan-saran) dari pada istilah fatwa itu sendiri, dalam pengertian, bahwa; seseorang yang memberikan futyaa atau petuah (wejangan-saran) disebut sebagai muftin-almuftii.

Sedangkan seseorang yang memberikan fatwa Afta.

Oleh karenanya jelaslah terjadi kesalahpahaman dan kerancuan jika kalangan ulama memberikan fatwa kepada suatu kaum yang bukan dari kelompok atau dari golongan mereka sendiri, apalagi yang sifatnya memvonis dan mempermalukan kelompok lain dengan fatwa yang dikeluarkannya itu.

Akan tetapi dalam hal ini, dibenarkan bagi para ulama (salaf maupun kalaf) untuk memberikan futyaa (petuah-nasehat-wejangan dan saran) kepada kelompok lain diluar kalangan mereka dan itupun tentu saja harus dilakukan dengan tatacara (adab) yang santun, bukannya dengan cara yang biadab lagi tercela.

Dalam Kitab Ijtihad halaman 36 yang ditulis oleh Syaikh Wildan Firdausi, disebutkan bahwa seseorang diberi kewenangan untuk memberikan fatwa (afta) hanya kepada kalangannya sendiri, dan tidak boleh diberikan kepada seseorang atau suatu kaum yang bukan menjadi kewenangannya, karena hal tersebut akan memicu pertikaian yang berkepanjangan, terkecuali dalam bentuk futyaa (saran-nasehat) dan itupun harus dengan seijin orang yang akan diberikan saran tersebut, dengan tujuan agar tidak menyinggung atau menyakiti perasaan orang lain.

Rasa keimanan seseorang haruslah diungkapkan secara verbal untuk menyatakan pembuktian dirinya kepada Yang Maha Pencipta (Al-Khaliq), karena melalui rasa keimanan inilah menggema kembali keselarasan (tanasub) fundamental yang memungkinkan seseorang untuk tidak bertindak dan bersikap seperti Tuhan, hanya dikarenakan dirinya merasa lebih suci – lebih baik dan lebih benar dari diri orang lain.

Bahaya kesombongan yang disebabkan oleh pembenaran diri dalam beragama, akan memudahkan diri seseorang terjebak kedalam lautan dosa yang tidak pernah diketahui oleh dirinya.

Dan oleh karena itu, banyaklah konsep-konsep mengenai fatwa yang telah keluar jauh dari kebenaran (menyimpang) dan keluar dari kewenangan fatwa itu sendiri, sehingga jika hal ini dibiarkan berlarut-larut tanpa adanya koreksi dari pejabat berwenang, maka fatwa tersebut akan menjadi sangatlah mudah untuk ditunggangi dan dijadikan tameng demi kepentingan seseorang atau suatu kelompok dengan mengatasnamakan Islam, yang pada akhirnya akan memicu perang SARA, karena dari kesewenangan Sang Pembuat Fatwa yang terkesan ingin mendahului keputusan Allah dan Rasulnya sehingga akan banyak orang-orang tersakiti hatinya.

Seperti tersebut didalam firman-Nya :

Artinya :

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasulnya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”(QS. 49 : 1)

Artinya :

Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.” (QS. 33 : 58)

Akhirnya hak yang menjadi kewenangan Allah SWT dalam memvonis atau memfatwakan hamba-hamba-Nya dengan sebutan musyrik atau sesat kini telah diambil alih oleh sekelompok orang-orang sombong yang menganggap dirinya suci dan lebih baik dari orang lain.

Hal ini tentu saja merupakan suatu pencerminan dari pemikiran yang dangkal dengan tanpa dilandasi pengetahuan. Yang pada akhirnya akan menyebabkan kekafiran bagi kaum muslim yang merasa kehilangan keyakinannya akibat ulah perbuatan dari para pemberi fatwa (afta). Semua ini sangatlah mungkin untuk terjadi, karena suatu kaum yang memiliki persamaan dalam pembacaan syahadatnya, shalatnya, kitab sucinya, Nabi maupun Rasulnya telah dimusyrikkan dan disesatkan oleh mereka, yang sebenarnya tidak memiliki kewenangan dalam hal tersebut, dan mereka hanya menduga-duga dalam memutuskan sesuatu, sedangkan dugaan dan sangkaan tidak akan pernah mencapai suatu kebenaran.

Allah Ta’ala telah berfirman dalam Al-Qur’an :

Artinya :

Sebahagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran. Maka ma'afkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. 2 : 109)

Artinya :

Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.” (QS. 10 : 36)

Hukum suci Islam bukanlah timbul dari perkiraan maupun dugaan semata, karena hasil dari dugaan (sangkaan) itu adalah fitnah keji dan dusta semata-mata. Oleh karenanya sangat disayangkan sekali, suatu golongan akan masuk neraka jahanam hanya dikarenakan selalu menduga dan menyangka kelompok lain yang belum jelas kesalahannya. Sedangkan dalam Al-Qur’an dikatakan bahwa orang-orang yang suka memfitnah itu haruslah diperangi karena dosanya lebih besar daripada membunuh dan bagi para pendusta akan mendapat celaka. Seperti tersebut dalam Al-Qur’an :

Artinya :

Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah: "Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidilharam dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah. Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh. Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.”(QS. 2 : 217)

Artinya :

Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah…….”(QS. 8 : 39)

Artinya :

Kecelakaan yang besarlah pada hari itu bagi orang-orang yang mendustakan. Bukankah Kami telah membinasakan orang-orang yang dahulu? Lalu Kami iringkan (azab Kami terhadap) mereka dengan (mengazab) orang-orang yang datang kemudian. Demikianlah Kami berbuat terhadap orang-orang yang berdosa. Kecelakaan yang besarlah pada hari itu bagi orang-orang yang mendustakan. Bukankah Kami menciptakan kamu dari air yang hina kemudian Kami letakkan dia dalam tempat yang kokoh (rahim), sampai waktu yang ditentukan, lalu Kami tentukan (bentuknya), maka Kami-lah sebaik-baik yang menentukan.” (QS. 77: 15 s.d. 23).

Sewaktu ditanya mengenai awal bulan suci Ramadhan, Ketua Dewan Wali, hanya berkata singkat, dan menegaskan bahwa “kami mengikuti ketetapan pemerintah saja (Departemen Agama) agar tidak terjadi kesimpang-siuran yang tidak jelas hanya dikarenakan ingin tampil beda. .

Selengkapnya...