Selasa, 19 Februari 2008

Tanya Jawab Murid dan Mursyid tentang Wasilah

Murid; Guru… Apakah maksud, arti dan pengertian serta tujuan dari Wasilah (Tawasul)…? Saya mohon penjelasan guru…!

Mursyid; Wasilah (Tawasul) berarti; jalan, yang mengandung pengertian untuk menunjukkan jalan yang melaluinya-lah manusia melakukan pendekatan diri secara mutlak kepada Allah SWT, dengan hati (qalb) serta jiwa (nafs)-nya yang disegarkan oleh keagungan, keselarasan, irama dan pola bentuk-bentuk pengamalan melalui dzikrullah yang mengelilingi kaum muslim, yang hidup didalam masyarakat Islam tradisional, dan yang mengungkapkan keindahannya pada lembaran-lembaran suci Al Qur’an. Oleh sebab itulah, wasilah (tawasul) dalam doktrin Islam tradisional dijadikan sebagai induk suci Islam yang merupakan suatu karunia dari hakikah yang terletak dalam hati wahyu Islam. Seperti tersebut dalam firman-Nya;

Artinya :

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan.”(QS. 5 : 35)

Bagi mereka (kaum muslim) yang mengikuti jalan (wasilah) menuju hakikat berdzikrullah atau mengamalkan awrad (wiridan sehari-hari), jalan ini merupakan pembantu utama untuk merenungkan Yang Maha Esa, karena wasilah (tawasul) itu sendiri bertujuan untuk mengingatkan kita kembali, bahwa hanya Allah sajalah yang dapat memenuhi hati (qalb) dan fikiran (fikr) kita.

Sehingga nama siapapun yang disebutkan atau dibawa dalam wasilah (tawasul), justru hal itu akan mengingatkan kembali kebenaran hadist Rasuulullah SAW yang mengatakan bahwa; “Tuhan ada dan tiada yang menyertainya”.

Disinilah fungsi dan peran wasilah (tawasul) sebagai sesuatu yang turun dari dunia spiritual ke dunia fisikal, karena ia (wasilah) memiliki substansi spiritual bathin ketika mengenakan selubung keaneka-ragaman dari nama-nama para malakaitullah, para nabiyullah, para waliyullah dan lain sebagainya pada setiap permulaan wasilah (tawasul).

Dan tentu saja dalam hal ini, nama Allah haruslah lebih didahulukan sebelum nama-nama lainnya, karena nama Tuhan adalah kunci khazanah misteri Tuhan dan pintu gerbang yang nyata.

Banyak dari para ulama-ulama salaf dan orang-orang suci lainnya mengambil hikmah untuk menguak sifat spiritualitas dari wasilah (tawasul) yang memiliki peranan dalam kehidupan spiritual Islam, karena mereka memiliki pengetahuan yang hakiki dan berkemampuan untuk menembus ke dalam makna bathinnya dari wasilah (tawasul) tersebut, sebagai simbol prinsip-prinsip realitas maupun pedoman yang terwujud secara bathiniah. Itulah realitas yang berdasarkan identitas esensial wasilah (tawasul) yang sekaligus merupakan atau sebagai salam penghormatan kaum muslim kepada para pendahulu Islam lainnya.

Maka, menurut doktrin Islam tradisional, wasilah (tawasul) adalah hasil imposisi prinsip spiritual dan intelektual pada nama-nama orang suci yang disebutkan namanya melalui wasilah (tawasul) tersebut.

Akan tetapi, prinsip ini juga tidak boleh tidak, ia harus dihubungkan atau harus ada keterhubungan antara nama-nama yang disebutkan dengan keselarasan (tanasub) universal yang terdapat di dalam pengamalan awrad yang digunakan untuk berdzikrullah dalam seluruh manifestasi kosmik.

Dan dengan bantuan metode tradisional mengenai realisasi spiritual, maka wasilah (tawasul) yang dilakukan seseorang atau sekelompok muslim, maka akan terjadi transformasi dalam jiwanya atau jiwa mereka, dengan ditemukannya kembali hubungan primordialitas (al fitrah) manusia, juga menjadi inti praktik spiritual atau upacara (ritual) yang memanfaatkan ilmu bathin Islam tradisional tentang pengamalan awrad dari ayat-ayat suci Al Qur’an yang disakralkan oleh keyakinan tertentu.

Wasilah (tawasul) dalam Islam tradisional terdiri dari tiga tingkatan spiritual yang dipandang sebagai suatu perpanjangan praktik spiritual fundamental dalam penerimaan rumusan jalan suci tertentu, dimana terdapat kebergantungan yang bersifat religius dari kewibawaan spiritual, ketika dipraktikkan dalam kondisi dan nuansa tradisional yang kental serta keselarasan (tanasub) dari tiga tingkatan wasilah (tawasul) dalam doktrin Islam Tradisional, dengan tanpa mengadopsi ritual-ritual bawaan dunia Barat. Sebagai contoh di dalam islam kita dapat merujuk para waliyyullah (awliya), yang menggunakan wasilah (tawasul) sebelum melaksanakan praktik spiritual berupa dzikrullah atau doa-doa suci berupa awrad yang direfleksikan dalam ungkapan bathiniah individualitas seorang muslim.

Tingkatan pertama dalam wasilah (tawasul) adalah; wasilah (tawasul) Ijmal, yakni suatu wasilah (tawasul) yang secara menyeluruh dan tidak terjadi pembedaan satu sama lain.

Pada tingkatan wasilah ijmal ini, pengetahuan Allah, seluruh entitas tak berubah dan tak terbedakan, karena Allah SWT merupakan asal-usul kosmos, dan kosmos itu sendiri adalah manifestasi dari nama-nama ilahi yang paling baik (asmaul husna). Dalam konteks ini, segala sesuatu yang dilihat maupun yang didengar oleh manusia adalah; nama-nama.

Sehingga dapatlah dikatakan, bahwa manusia adalah bentuk lahiriah dari seluruh nama itu secara menyeluruh (ijmal), sedangkan kosmos adalah bentuk lahiriah dari seluruh nama tersebut secara terperinci. Hal ini yang membuat para ulama salaf dan ahli makrifat (urafa) selalu melibatkan nama-nama para malaikat Allah, para Nabi dan rasul Allah, para wali-wali Allah dan nama-nama dari para mursyid (guru spiritual) serta nama para ahli kubur dari keluarganya sendiri, berikut nama para ahli kubur sesama kaum muslim.

Seluruh nama-nama itulah yang biasa dibawa (disebut) dalam setiap wasilah (tawasul), sebelum melakukan dzikrullah dengan doa-doa dan pengamalan ayat-ayat suci Al Qur’an (awrad).

Hubungan antara nama-nama dan wasilah (tawasul) justru ditemukan dalam hubungan metafisik yang mengikat keduanya karena ini merupakan upaya dan usaha individual (ijtihad) untuk memperoleh pengetahuan tentang hukum suci (syariah) secara lahiriah.

Sedangkan upaya bathin individual diarahkan untuk sebagai penyucian jiwa guna memperoleh pengetahuan tentang Allah (makrifatullah) yang dikontraskan dengan pemberian (wahb) pengetahuan melalui suatu jalan (wasilah) pembuka (fath) dan penyingkapan (kasyf) yang kedua-duanya merupakan anugerah Allah SWT, berupa rahmat, yang hanya dapat difahami dan dimengerti oleh seseorang atau suatu golongan yang sudah siap menerima pengetahuan mengenai wasilah (tawasul) yang sesungguhnya.

Tingkat kedua dalam wasilah (tawasul) adalah Wasilah Intiqal, yakni; suatu wasilah (tawasul) yang merujuk pada jalan kepindahan, dimana para wali-wali Allah (awliya) berpindah dari satu kedudukan (maqam) ke kedudukan lain (maqam maqamat), untuk menapak ke kedudukan yang lebih tinggi. Wasilah dalam tingkatan intiqal ini, dari sudut pandang Islam tradisional merupakan proses yang diikuti oleh fikiran (fikr) dalam pencariannya akan kebenaran.

Proses ini dimungkinkan oleh kekuatan logis fikiran yang merupakan perluasan dari prinsip spiritual dan prinsip intelektual. Inilah perjalanan intiqal yang dilakukan manusia, dari satu pengetahuan ke pengetahuan lain, dari satu kedudukan ke kedudukan lain dengan cara melakukan praktik spiritual melalui wasilah (tawasul).

Dalam konteks Islam tradisional, wasilah intiqal ini selalu merujuk kepada nama-nama malaikat dan para nabi serta nama-nama rasul Allah yang dibawa (disebut) dalam wasilah (tawasul) pada setiap praktik spiritual dalam melakukan dzikrullah dengan menggunakan doa-doa suci dan pengamalan dari ayat-ayat Al Qur’an (wirid atau awrad).

Dalam hal ini, wasilah Intiqal sesungguhnya merupakan sarana untuk mengekspresikan pengetahuan yang benar-benar intelektual, sebagai tangga untuk mendaki ke peringkat transenden. Oleh karenanya, merupakan suatu kebodohan jika wasilah (tawasul) dianggap sebagai sentimentalisme dan dianggap sebagai sekadar alat untuk mengekspresikan keanehan individual serta bentuk subyektifisme oleh sebagian orang yang anti Islam tradisional.

Sedangkan tingkatan ketiga dari wasilah (tawasul) adalah Wasilah Mu’bah, yakni; segala sesuatu yang dibolehkan oleh hukum suci (syariah) bagi sang penempuh jalan spiritual (salik) yang telah berpaling kepada Allah SWT.

Wasilah Mu’bah berfungsi untuk menyampaikan pesan intelektual dan spiritual, maka wasilah mu’bah ini telah saling melengkapi dengan wasilah ijmal maupun wasilah intiqal, dan merujuk kepada realitas yang mendasari keduanya, sehingga banyak hal yang dibolehkan (mu’bah) bagi orang-orang biasa dan awam, lalu menjadi terlarang bagi dirinya atau diri orang lain dalam pandangan segolongan orang yang pada dasarnya tidak mau berusaha untuk mencoba atau belajar memahami rahasia yang tersembunyi dibalik wasilah (tawasul) tersebut.

Sehingga dapatlah dikatakan bahwa orang-orang semacam ini tidaklah mudah untuk menerima suatu kebenaran yang menjadi faham orang lain, kecuali faham mereka sendiri tentunya, yang sebetulnya belum tentu benar pula. Dalam Islam tradisional, wasilah mu’bah selalu digunakan dalam praktik spiritual dengan membawa (menyebut) nama-nama para waliyyullah (awliya) dan para mursyid (guru-guru spiritual) serta nama-nama para ahli kubur, baik yang ada keterikatan keluarga maupun yang tidak ada hubungan sama sekali, akan tetapi, masih saudara semuslim.

Tingkatan terakhir dari wasilah ini (wasilah mu’bah) selalu berkaitan dengan kesadaran spiritual muslim yang tak dapat diindentifikasikan secara jelas dan tak mampu diwujudkan secara nyata, karena apapun tingkatannya dari ketiga macam wasilah itu adalah; rasa mahabbahnya seorang muslim terhadap pendahulu Islam yang telah tiada.

Pemahaman tentang wasilah (tawasul) dalam doktrin Islam tradisional serta penemuan prinsip-prinsip itu, yang membuat pemikiran Islami tentang wasilah (tawasul), tentu saja tidak dapat dicapai tanpa mencurahkan perhatian sepenuhnya kepada nabi serta ibadah-ibadah yang dibawa kedunia ini sebagai perintah Tuhan, juga memperhatikan bumi dan alam sebagai kesatuan yang merefleksikan surga dan mengembalikan karakter primordial seorang muslim yang asli dan yang tidak terkontaminasi dengan doktrin dunia barat, sebagai jalan yang dicipta untuk beribadah kepada Allah SWT, dengan tanpa adanya pertentangan-pertentangan yang mengakibatkan terjadinya perpecahbelahan sesama antar umat islam.

Itulah sekilas mengenai wasilah (tawasul), yang sebagian besar kaum muslim menganggap bahwa dengan melakukan wasilah (tawasul) sebelum mengerjakan pengamalan hari-hari (wirid atau awrad) dari ayat-ayat suci Al Qur’an akan dapat membangkitkan rasa kesucian melalui keheningan, yang meskipun tidak wujud, namun mengejawantahkan kehadiran ruh dalam roda eksistensi duniawi yang sebenarnya amat fana ini.

Murid; Guru… Ada sebagian kecil dari kelompok kaum muslim yang menyatakan bahwa melakukan wasilah (tawasul) itu haram hukumnya, bahkan mereka tidak segan-segan untuk mengatakan musyrik bagi siapapun dari kaum muslim yang mengerjakan wasilah (tawasul) tersebut. Apakah benar demikian guru…?

Mursyid; Kamu tidak perlu menjadi fikiran mengenai hal itu, bacakan saja olehmu Al Qur’an pada surat Az zumar ayat 9 seperti tersebut dibawah ini kepada mereka, jadi kamu tahu siapa yang sebenarnya musyrik itu.

Artinya;

(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.”(QS. 39 : 9)

1 komentar:

mohammad izar adha mengatakan...

Begitu jauh kah Tuhan hingga untuk memintapun memerlukan penghubung?????